CSR BUKAN GULA GULA PEMANIS
Oleh: Herry Trunajaya BS
INDONESIA kaya sumberdaya baik manusia maupun alamnya, tetapi secara ekonomi dibelit dominasi asing. Kepercayaan publik, dipertaruhkan ketika berbagai kebijakan ekonomi kian diragukan keberpihakannya kepada rakyat.
Ekonomi terkait dengan kebijakan, ketika kebijakan tidak dipercaya, akibat kebijakan sebatas janji yang tidak berjalan di lapangan, dan seringkali berulang, maka yang terjadi adalah publik melakukan tindakan yang berlawanan dengan kebijakan itu.
Negara kita tercinta saat ini tengah dilanda berbagai persoalan, seperti kasus Bank Century yang begitu menghebohkan karena uang sebesar 6,7 triliun rupiah tidak tahu kemana raibnya. Kepercayaan publik pun makin merosot. Padahal membangun kepercayaan publik bukan soal gampang.
Namun, sejumlah perusahaan minyak dan gas (Migas) yang beroperasi di bumi Etam (kita, red) Kalimantan Timur sejak berpuluh tahun silam, agaknya cukup berhasil merebut simpati publik, khususnya masyarakat yang berada di dekat kawasan perusahaan-perusahaan migas tersebut beroperasi.
Perusahaan-perusahaan migas tersebut tidak saja terus menyedot kekayaan alam dari perut bumi Kalimantan Timur, tetapi juga terus menjalin kebersamaan yang makin erat dan harmonis. Setiap tahunnya mereka terus meningkatkan besaran tanggung jawab sosial perusahaan atau keren-nya corporate social responsibility (CSR).
CSR memang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan yang menyebutkan bahwa perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya alam (SDA) wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Sanksi pun dirumuskan untuk memberikan efek jera bagi mereka (perusahaan) yang berpikir untuk melanggar.
Keraguan atau ketidakpercayaan masyarakat terhadap kebanyakan korporasi memang tak bisa disalahkan, karena di mata masyarakat, perusahaan-perusahaan tersebut beroperasi hanya untuk mengeruk keuntungan semata seperti yang banyak bermunculan di tanah air. Masyarakat yang tinggal di daerah yang sebenarnya kaya akan SDA, hanya mengelus dada melihat bagaimana perusahaan-perusahaan itu mengeruk dan membawa pergi kekayaan yang mereka anggap sebagai hak anak cucu mereka.
Namun CSR telah menjawab semua keraguan atau ketidakpercayaan masyarakat. Bagi perusahaan-perusahaan yang pada awalnya menganggap CSR sebagai sogokan kepada masyarakat yang sering dirugikan oleh kegiatan perusahaan, sudah saatnya kini harus memikirkan CSR sebagai sebuah progam pembangunan yang berkelanjutan dalam memberdayakan masyarakat.
Seperti TOTAL E&P Indonesie, misalnya, perusahaan migas yang pada tahun 2008 mengucurkan Rp 16 miliar dana CSR bagi masyarakat di daerah operasionalnya, dan pada 2009 menjadi 21 miliar rupiah. Dan untuk tahun-tahun selanjutnya sudah pasti TOTAL E&P akan kembali mengeluarkan dana CSR. Alokasi dana CSR itu terserap untuk pembangunan fisik infrastruktur kesehatan, pendidikan, ekonomi, lingkungan dan budaya.
Memang, CSR yang dikucurkan TOTAL E&P itu diprioritaskan bagi masyarakat Anggana, Muara Jawa, Samboja, Muara Badak dan Sanga Sanga yang merupakan daerah-daerah lokasi eksploitasi migas perusahaan asal negeri Perancis tersebut. Tapi bukan berarti TOTAL E&P Indonesie yang menggali sumber daya alam di Block Delta Mahakam, Kutai Kartanegara (Kukar) sejak 1968 silam itu dan telah mencatat produksi migas yang mencapai 565 ribu barel setara minyak per hari, menutup mata dengan masyarakat Kalimantan Timur lainnya atau mereka yang hidup jauh dari lokasi eksploitasi.
Dan tidak hanya TOTAL E&P Indonesie yang begitu peduli, tetapi perusahaan sejenis seperti VICO Indonesia, Medco Indonesia, LNG Badak, Chevron Indonesia Company dan BUMN Pertamina juga telah melaksanakan CSR dengan rutin. Bantuan yang memang tak tunai tapi dalam bentruk program-program itu mampu meningkatkan kemandirian masyarakat, tidak saja di Kalimantan Timur, juga di belahan bumi pertiwi lainnya.
Perusahaan-perusahaan migas tersebut telah membuktikan kalau CSR bukanlah gula-gula atau pemanis dan taktik perusahaan untuk menutupi berbagai kerusakan lingkungan hidup dan pelanggaran terhadap hak asasi lainnya yang telah dilakukan oleh perusahaan. Ya, CSR bukan lagi aktivitas sosial yang perusahaan anggap sebagai sogokan semata kepada masyarakat sekitarnya.
“CSR itu memang kewajiban bagi sebuah perusahaan, dan dananya juga murni dari perusahaan, bukan dana pemerintah. Tetapi bukan dana tunai melainkan dalam bentuk program-program bagi masyarakat di sekitar perusahaan beroperasi,” jelas Kepala BPMigas Kalimantan – Sulawesi (Kalsul) Agus Suryono.*
Oleh: Herry Trunajaya BS
INDONESIA kaya sumberdaya baik manusia maupun alamnya, tetapi secara ekonomi dibelit dominasi asing. Kepercayaan publik, dipertaruhkan ketika berbagai kebijakan ekonomi kian diragukan keberpihakannya kepada rakyat.
Ekonomi terkait dengan kebijakan, ketika kebijakan tidak dipercaya, akibat kebijakan sebatas janji yang tidak berjalan di lapangan, dan seringkali berulang, maka yang terjadi adalah publik melakukan tindakan yang berlawanan dengan kebijakan itu.
Negara kita tercinta saat ini tengah dilanda berbagai persoalan, seperti kasus Bank Century yang begitu menghebohkan karena uang sebesar 6,7 triliun rupiah tidak tahu kemana raibnya. Kepercayaan publik pun makin merosot. Padahal membangun kepercayaan publik bukan soal gampang.
Namun, sejumlah perusahaan minyak dan gas (Migas) yang beroperasi di bumi Etam (kita, red) Kalimantan Timur sejak berpuluh tahun silam, agaknya cukup berhasil merebut simpati publik, khususnya masyarakat yang berada di dekat kawasan perusahaan-perusahaan migas tersebut beroperasi.
Perusahaan-perusahaan migas tersebut tidak saja terus menyedot kekayaan alam dari perut bumi Kalimantan Timur, tetapi juga terus menjalin kebersamaan yang makin erat dan harmonis. Setiap tahunnya mereka terus meningkatkan besaran tanggung jawab sosial perusahaan atau keren-nya corporate social responsibility (CSR).
CSR memang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan yang menyebutkan bahwa perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya alam (SDA) wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Sanksi pun dirumuskan untuk memberikan efek jera bagi mereka (perusahaan) yang berpikir untuk melanggar.
Keraguan atau ketidakpercayaan masyarakat terhadap kebanyakan korporasi memang tak bisa disalahkan, karena di mata masyarakat, perusahaan-perusahaan tersebut beroperasi hanya untuk mengeruk keuntungan semata seperti yang banyak bermunculan di tanah air. Masyarakat yang tinggal di daerah yang sebenarnya kaya akan SDA, hanya mengelus dada melihat bagaimana perusahaan-perusahaan itu mengeruk dan membawa pergi kekayaan yang mereka anggap sebagai hak anak cucu mereka.
Namun CSR telah menjawab semua keraguan atau ketidakpercayaan masyarakat. Bagi perusahaan-perusahaan yang pada awalnya menganggap CSR sebagai sogokan kepada masyarakat yang sering dirugikan oleh kegiatan perusahaan, sudah saatnya kini harus memikirkan CSR sebagai sebuah progam pembangunan yang berkelanjutan dalam memberdayakan masyarakat.
Seperti TOTAL E&P Indonesie, misalnya, perusahaan migas yang pada tahun 2008 mengucurkan Rp 16 miliar dana CSR bagi masyarakat di daerah operasionalnya, dan pada 2009 menjadi 21 miliar rupiah. Dan untuk tahun-tahun selanjutnya sudah pasti TOTAL E&P akan kembali mengeluarkan dana CSR. Alokasi dana CSR itu terserap untuk pembangunan fisik infrastruktur kesehatan, pendidikan, ekonomi, lingkungan dan budaya.
Memang, CSR yang dikucurkan TOTAL E&P itu diprioritaskan bagi masyarakat Anggana, Muara Jawa, Samboja, Muara Badak dan Sanga Sanga yang merupakan daerah-daerah lokasi eksploitasi migas perusahaan asal negeri Perancis tersebut. Tapi bukan berarti TOTAL E&P Indonesie yang menggali sumber daya alam di Block Delta Mahakam, Kutai Kartanegara (Kukar) sejak 1968 silam itu dan telah mencatat produksi migas yang mencapai 565 ribu barel setara minyak per hari, menutup mata dengan masyarakat Kalimantan Timur lainnya atau mereka yang hidup jauh dari lokasi eksploitasi.
Dan tidak hanya TOTAL E&P Indonesie yang begitu peduli, tetapi perusahaan sejenis seperti VICO Indonesia, Medco Indonesia, LNG Badak, Chevron Indonesia Company dan BUMN Pertamina juga telah melaksanakan CSR dengan rutin. Bantuan yang memang tak tunai tapi dalam bentruk program-program itu mampu meningkatkan kemandirian masyarakat, tidak saja di Kalimantan Timur, juga di belahan bumi pertiwi lainnya.
Perusahaan-perusahaan migas tersebut telah membuktikan kalau CSR bukanlah gula-gula atau pemanis dan taktik perusahaan untuk menutupi berbagai kerusakan lingkungan hidup dan pelanggaran terhadap hak asasi lainnya yang telah dilakukan oleh perusahaan. Ya, CSR bukan lagi aktivitas sosial yang perusahaan anggap sebagai sogokan semata kepada masyarakat sekitarnya.
“CSR itu memang kewajiban bagi sebuah perusahaan, dan dananya juga murni dari perusahaan, bukan dana pemerintah. Tetapi bukan dana tunai melainkan dalam bentuk program-program bagi masyarakat di sekitar perusahaan beroperasi,” jelas Kepala BPMigas Kalimantan – Sulawesi (Kalsul) Agus Suryono.*
Comments