Skip to main content

M Irham Amri

“MENELAAH” INDUSTRI MIGAS

Oleh : M. Irham Amri

Industri Migas tidak hanya menghasilkan minyak dan gas setiap harinya tetapi juga menjadi konsumsi pers yang paling sering di headline-kan. Ada apa dengan keberadaan Industri Migas di Kalimantan Timur yang akhir-akhir ini sering dilirik Gubernur, Awang Farouk Ishak?. Dan bagaimana Rudi Rubiandini menyikapi Industri Migas yang menurutnya sangat berpengaruh terhadap ekonomi Kaltim-Indonesia?. Berikut petikan dan telaannya.
Awang Farouk mengatakan, CSR perusahaan asing di Kalimantan Timur tidak berfungsi sebagaimana perannya. CSR menurut Awang hanyalah teori pemanis saja. ‘Komitmen CSR Perusahaan di Kaltim tidak berjalan seperti apa yang kami harapkan. Perusahaan yang beroperasi di Kaltim tidak peka terhadap masyarakat miskin yang ada di sekitar produksi. Bisanya mengeruk isi bumi Kaltim saja,” ujar gubernur terpilih melaui pemeilihan rakyat ini saat meresmikan gedung baru Paviliun dan Poliklinik RSU AW Syahranie-Samarinda (14/1/10)
Sang gubernur tidak salah. Tapi juga tidak sepenuhnya benar. Sebagai manusia biasa, Awang mungkin lagi sedikit emosional saat mengucapkan kata-kata pedas ini di hadapan wartawan. Sehingga keakuratan ucapan pasangan Farid Wadjdi ini perlu diperdebatkan lagi. Apa sebenarnya CSR dan bagaimana ia berperan di tengah-tengah masyarakat.
Corporate Social Responsibility (CSR) adalah peremajaan dari Community Development (Comdev) yang arti lepasnya mungkin seperti ini ; “Pengembangan keekonomian masyarakat melalui perbantuan finansial dari perusahaan”. Mengenai bagaimana ia berprilaku dan berapa besar anggaran yang dialokasikan perusahaan itu sangat sulit didapatkan oleh para pemburu berita. Hampir semua jubir perusahaan Migas mengatakan ”No Comment” atau mengambil kebijakan “Secret”. Budaya tutup mulut untuk informasi satu ini setidaknya menimbulkan ekses praduga-praduga liar yang lebih cenderung negatif. Mungkin di antaranya pandangan Awang Farouk seperti yang dikemukakan di atas. Selain itu, LSM atau kelompok masyarakat lainnya yang kritis akan menjadikan “Kartu Trup” untuk terus mengkritisi keberadaan perusahaan-perusahaan Migas yang ada di Kalimantan Timur.
Dengan keadaan yang kurang baik ini, apakah perusahaan Migas tinggal diam, kenapa tidak mengubah kebijakan yang anti transparansi menjadi pro transparansi?. Bukankah keterbukaan akan lebih baik?. Bukankah kebijakan secret dan no comment hanya akan menimbulkan masalah-masalah yang kemungkinannya bisa menjadi masalah serius yang bisa memprovokasi kebijakan-kebijakan pemerintah?.
Jawabannya tentu tidak mudah. Selain karena itu tadi, secret dan no comment , informasi lainnya sangat susah didapatkan. Kita hanya bisa mereka-reka alias menembak rusa di tengah kegelapan. Kemungkinannya begini, perusahaan Migas telah meneken perjanjian bagi hasil dengan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten. Setelah itu, perusahaan Migas masih dituntut mengeluarkan receh-receh anggaran untuk membantu masyarakat sekitar produksi secara langsung tanpa melalui lagi pemerintah daerah. Dalam hal ini, pemerintah tidak lagi menetapkan berapa dan berapa untuk comdev-CSR alias uang untuk rakyat. Pemerintah sepertinya tidak mau lagi DBH-nya diutak-atik masyarakat. Untuk masyarakat haruslah diselesaikan oleh perusahaan Migas. Dari sinilah lahir hak preogratif perusahaan seputar CSR. Berapa dan bagaimana penyalurannya, itu hak preogratif perusahaan Migas. Ada juga benarnya perusahaan mengambil kebijakan secret mengenai keuangan agar masyarakat tidak meminta lebih dari sebenarnya. Artinya kalau anggaran ditransparansikan maka semut-semut apapun itu akan datang mendekat meskipun itu semut hitam. Selain itu, pemerintah daerah akan selalu saja membebankan perusahaan Migas untuk menalangi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang sebenarnya juga beban pemerintah.
Hal berbeda diungkapkan Rudi Rubiandini. Menurut Dosen Teknik Perminyakan ITB ini, peran Industri Migas di Kalimantan Timur sangat besar alias punya pengaruh terhadap perkembangan perekonomian Kaltim secara “mumpuni”. Bahkan, ahli permigasan ini berani menyimpulkan bahwa Industri Migas menjadi penentu bagi lokomotif perekonomian bangsa Indonesia. “Ribuan kontraktor lokal menggantungkan perusahaannya di Industri Migas. Berpuluh-puluh trilliun pendapatan negara dipasok dari hasil Migas. Provinsi dan kabupaten pun kebagian berkah. Rakyat kecil juga bisa merasakan manfaatnya melalui kucuran anggaran untuk masyarakat yang disebut CSR. Jadi, semua dapat menikmati hasil isi bumi ini. Tidak berlebihan bila Industri Migas disimpulkan sebagai penggerak ekonomi yang punya pengaruh besar terhadap apapun yang ada di negara ini,” ujarnya ketika menyampaikan materi bertemakan ‘Industri Migas sebagai lokomotif perekonomian lokal dan nasional” di hotel Blue Sky- Balikpapan (19/11/09) yang diadakan oleh BPMigas Kalimantan dan Sulawesi.
Itu cara pandang Rudi. Memang, kalau berbicara angka-angka, Industri Migas sangat “perkasa”. Berapa ratus trilliun sudah dihasilkan oleh Industri Migas di Indonesia, berapa puluh ribu tenaga kerja yang diserap, berapa banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya dan sejauh apa ia berperan secara sosial di masyarakat pedesaan? Itu pertanyaan yang tentunya menghasilkan jawaban yang sangat membusungkan dada para pengelola Migas. Akan tetapi, sebanyak dan sejauh apa manfaat yang ditimbulkan oleh Migas sejauh dan sedalam bumi ini terkeruk dan terkeruk dan terus terkeruk. Artinya, kemungkinan-kemungkinan terburuk bisa saja terjadi. Sehebat-hebatnya manusia mengeruk dan mengelola hasil bumi, sebahaya itu resikonya. Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Kasus Lapindo Brantas bisa mewakili dampak-dampak negatif yang ditimbulkan dari ekplorasi dan ekploitasi Migas di Indonesia. Industri Migas bersentuhan langsung dengan hal-hal yang berbau alam yang ada di bawah bumi yang umumnya manusia tak mampu menebak-nebak resiko yang bisa ditimbulkan.
Terlepas dari itu, Migas atau apapun yang ada di muka maupun di dalam isi bumi memang diperuntukkan bagi manusia. Yang masalah, mampukah manusia mengelola dan memanfaatkan bagi kemajuan peradaban ummat manusia. Ini juga mungkin bisa dipertanyakan kepada Awang Farouk, bisakah orang Kaltim mengelola sumber-sumber alam yang berada jauh di perut bumi? Kalau memang bisa maka tak perlu lagi kita pertanyakan masalah Corporate Sosial Responsibility (CSR) karena orang lokal berperan sebagai pemain, bukan penonton yang mengharapkan wulas kasih dan kejujuran dari sang pemain. Sebaliknya, para pengelola dan produsen Migas yang umumnya berasal dari luar negeri agar pintar-pintar menempatkan dirinya sebagai tamu yang mempunyai kewajiban-kewajiban tertulis dan aturan-aturan moril yang tersirat.
Dari pembahasan ini kita coba menyimpulkan antara penyampaian Gubernur Kaltim, Awang Farouk dengan pembahasan yang dimaterikan Rudi Rubiandini. Keduanya mempunyai cara dan sudut pandang berbeda terhadap keberadaan Industri Migas di Kaltim. Keduanya benar dan keduanya tidak salah. Yang salah adalah sudut pandangnya. Awang Farouk terlalu cepat menyimpulkan hanya karena adanya informasi dari masyarakat yang tidak kebagian CSR. Sementara Rudi Rubiandini terlalu terpaku pada informasi-informasi sepihak dari kalangan atas orang-orang Migas. Rudi kemungkinannya tidak terjun langsung ke lapangan melihat kucuran anggaran CSR yang tidak sampai ke masyarakat. Padahal, mereka adalah pribumi yang berada tidak jauh dari titik-titik produksi Migas.
Kesimpulannya, Industri Migas dengan CSR-nya adalah dua mata rantai yang seharusnya tak bisa dipisahkan. Atau ibaratnya koin dengan dua mata sisi. Di mana ada Industri Migas di situlah seharusnya CSR menebar pesona. Apa yang diucapkan Awang Farouk adalah informasi yang sangat berharga bagi manajemen Industri Migas untuk secepatnya menindaklanjuti dan memperbaiki sistem pengucuran CSR sebagai ujung tombak kedekatan bersama masyarakat. Karena kami percaya, Industri Migas mampu berperan secara aktif bergerak dan menggerakkan laju perekonomian lokal ataupun nasional yang sedikit banyak bergantung pada industri Migas.

Comments

Popular posts from this blog

Aplikasi Simantan

Layanan IMTN Balikpapan dengan Aplikasi Simantan "Ribet" Balikpapan, Layanan pembuatan surat tanah di Kota Balikpapan dari biasanya secara manual dari Surat Segel yang dimiliki warga kota diurus melalui Kantor Kecamatan disemua Kecamatan se Kota Balikpapan dari luas  tanah 5000 m2 kebawah, sedangkan luas tanah 5000 m2 keatas diurus melalui Kantor Dinas Pertanahan Kota Balikpapan yang ditujukan Kepada Walikota Balikpapan. seiring perjalanan dari waktu ke waktu tak banyak memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat. Kendala yang dialami diantaranya lambatnya proses layanan dan pemberian jadwal untuk pengukuran serta pembuataan dokumen penyelesaiaan imtn lainnya dinilai Lambat dan menjenuhkan. Pemberian jadwal serta fasilitas lainnya masih terkesan sesuka hati petugas yang melayani.sehingga warga yang mengurus selalu bolak balik kekantor DPPR atau Kekantor Camat untuk mengecek surat tanahnya sampai 1 tahun waktu berjalan. Komunikasi petugas dan warga yang mengurus di

Post Metro

Rabu, 13 Oktober 2010 , 08:23:00 Kapal Milik Pelindo Terbakar Kena Percikan Api Las, Anjungan Ludes Bagi berita/artikel ini kepada rekan atau kerabat lewat Facebook BALIKPAPAN-Sebuah kapal tunda jenis tugboat Anggada XV milik PT Pelindo terbakar di kawasan dermaga Chevron Kawasan Pelabuhan Semayang, Selasa (12/10) pagi kemarin sekira pukul 09.30 Wita. Kapal tersebut sedang dok tak beroperasi, dilalap api pada bagian anjungan serta dek bawah kapal. Kebakaran tugboat tersebut tak menimbulkan korban jiwa, namun menimbulkan kepanikan orang-orang di pelabuhan. Ratusan warga di pelabuhan berlarian takut terjadi ledakan dalam kapal. Api berhasil dijinakkan kurang dari 30 menit sebelum api menjalar ke dek-dek lainnya, serta peralatan pemadam kebakaran yang ada di dalam kapal Anggada XV. Diketahui kapal ini kesehariannya beroperasi memandu kapal penumpang yang akan sandar maupun bertolak di pelabuhan Semayang. Kapal tersebut sedang dok menjalani perawatan rutin sejak satu bulan lalu. Api diduga

berita foto lingkungan

kondisi aktivitas pertambangan batu bara samboja-kutai kartanegara 2011